SABUNG AYAM, TRADISI JUDI NENEK MOYANG YANG MASIH LESTARI DI BALI

209

Adu ayam jago atau biasa disebut sabung ayam merupakan permainan judi yang telah dilakukan masyarakat di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala. Meski kini dilarang di hampir seluruh wilayah, dulu sabung ayam di Nusantara ternyata tidak hanya untuk sekadar permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah bagian dari adat sosial, budaya maupun politik. Salah satu contoh akan itu yang masih dapat dilihat hingga sekarang adalah di Bali.

Di Pulau Dewata, sabung ayam sejak lama telah memiliki nilai lebih dari sekadar hiburan. Sabung ayam di Bali secara umum dipandang sebagai salah satu adat budaya keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperlihatkan kehambaan di hadapan para dewa. Namun, sebenarnya ada dua jenis kegiatan sabung ayam di sini, yaitu tajen dan tabuh rah. Keduanya memiliki peran yang sangat jauh berbeda.

Tajen memiliki makna yang lebih melekat ke bentuk hiburan semata dan sangat erat terkait dengan kegiatan taruhan. Secara umum tajen kini merupakan aktivitas yang dilarang karena dianggap berlawanan dengan ajaran agama Hindu, selain KUHP tentunya. 

Dalam sudut pandang Hindu, taruhan uang, yang berarti berjudi (atau dyuta dalam istilah agama Hindu), dan melakukan kegiatan yang menyebabkan matinya mahluk hidup lain untuk kesenangan semata-mata (yang di dalam ajaran Agama Hindu dinamai Himsa Karma) adalah hal-hal yang tidak baik dilakukan oleh setiap orang yang berusaha untuk mengamalkan dharma.

Di sisi lain, tabuh rah merupakan salah satu prosesi keagamaan yang sangat penting bagi masyarakat Hindu Bali. Tabuh rah dilaksanakan dengan tujuan untuk meneteskan darah persembahan ke permukaan bumi. Tradisi ini adalah bagian dari ritual Bhuta Yadnya yang memiliki tujuan sebagai upacara doa untuk memohon agar dilindungi dari butha atau pengaruh negatif.

Dalam tabuh rah, bukan Himsa Karma yang dikenakan kepada pelakunya karena ini hal adalah yang diperkenankan untuk upacara keagamaan (Butha Yadnya). Itu dengan jelas dituliskan dalam Pustaka Suci Wreti Sesana yang bunyinya sebagai berikut : 

Kunang pwa wwang, yan makedon dharma, tan dosa ika, ndya tang himsaka makedon dharma, ring amatiani sarwa sato makedon ginawe Caru ring Dewapuji tan dosa sira yan samangkana

Adapun artinya adalah bahwa seseorang yang membunuh binatang untuk persembahan Caru dan Panca Yadnya tidaklah berdosa. Jadi walaupun Himsa adalah dosa yang besar, tetapi Himsa itu dapat dilakukan untuk keperluan Dharma, yaitu keperluan agama seperti Dewa Puja (persembahan terhadap dewa, Pitra Puja (persembahan terhadap roh leluhur), Athitipuja (persembahan atau suguhan kepada tamu) dan lain-lainnya.

Selain itu dalam penyelenggaraannya, tabuh rah juga dilengkapi pula dengan upacara/sesajen tertentu dengan doa yang bermaksud bermohon kepada Hyang Widhi Wasa, agar roh binatang yang dijadikan persembahan tersebut mendapat tempat yang baik di sunia loka (mantram patika wenang) dan doa agar dikemudian hari kalau ia akan bereinkarnasi kembali ke dunia ini dalam keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya, oleh karena makhluk itu dianggap mati dalam keadaan beryadnya dan berperang  atau perang satha.

Dalam pelaksanaannya, tabuh rah biasa dilakukan di wilayah yang berada tidak jauh dari area pura. Bukti tabuh rah merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba juga didasarkan dari Prasasti Batur Abang I tahun 933 Saka dan Prasati Batuan tahun 944 Saka.